Selasa, 20 April 2010

Jaka Pertaka

Syahdan tersebutlah seorang penebang pohon, suatu ketika penebang pohon itu tengah mencari kayu di hutan. Tiba-tiba datang seekor burung garuda.
Melihat garuda itu, penebang pohon itu mencoba menghindar Tetapi malang garuda telih melihatnya. Maka burung raksasa itu pun menyerang.
Sekuat daya penebang pohon mencoba melawan. Dengan kapal di tangan ia menangkis tiap serangan. Tetapi garuda lebih tangkas, ia berhasil melukai mata penebang pohon itu.
Dengan mata buta di tengah hutan, penebang pohon itu tak berdaya. Akhirnya ia pun duduk bertafakur. Ia memohon pertolongan para dewa.
Sementara itu, dikhayangan, Dewa Umar Maya merasa gelisah Tapa penebang pohon itu telah menggoncang kahyangan. Dewi Umar Maya segera memanggil Jaka Slaka puteranya.
"Puteraku", sabda Umar Maya, "seorang penebang pohon tengah dilanda kemalangan. Pergilah engkau bertapa untuk mendapatkan obat bagi penebang pohon itu".
"Baik ayahanda", sembah Jaka Slaka, "Hamba akan laksanakan titah ayahanda".
Sepeninggal jaka Slaka, istrinya yang tengah hamil melahirkan. Betapa suka cita hati Umar Maya beroleh seorang cucu. Ia pun menamai cucunya Jaka Pertaka. Untuk mainan cucunya ia memberi boneka gajah putih berkepala empat.
Tersebutlah seorang puteri sebuah kerajaan. Tuan puteri bermimpi melihat gajah putih berkepala empat. Sejak saat itu sang puteri menjadi resah. Ia ingin sekali memiliki gajah itu.
Keinginan tuan puteri disampaikan kepada ayahandanya, "Wahai ayahanda", sembah sang puteri, "Jikalau ada kasih ayahanda kepada hamba, mohon kabulkanlah permintaan hamba ini".
"Katakanlah anakku", sabda sang raja,"Apa pun yang engkau inginkan akan ayah berikan".
"Ampuni kelancangan hamba ayah, namun hamba ingin sekali memiliki gajah putih berkepala empat".
Terperanjat sang raja mendengar Permohonan itu. Namun ia tak ingin mengecewakan puterinya. Segera baginda menitahkan patih untuk mencari gajah itu.
Berkelanalah sang patih. Ke segala penjuru angin ia mencari. Kepada setiap orang ia bertanya. Namun setelah lama ia mencari, belum jua ia menemukan yang dicarinya.
Pada suatu ketika, tibalah patih di sebuah taman. Di dengarnya suara tawa kanak-kanak. Segera patih menghampiri anak itu. Alangkah terkejut sang patih, ia melihat anak itu tengah bermain-main dengan boneka gajah putih berkepala empat.
Patih pun berpikir, "Jika ada bonekanya, tentulah gajahnya pun ada. Baiklah, akan kutanyai anak itu".
"Hai anak manis", tegur patih, "Bolehkah paman melihat bonekamu?"
"Tidak!", tolak anak itu ketus.
"Tak apalah" , ujar patih, "Tapi bolehkah Paman tahu, siapa namamu?"
"Jaka Pertaka", sahut anak itu.
"Hah,Jaka Pertaka, tahukah engkau di mana gajah putih berkepala empat itu berada ?"
"Tidak", Sahutan ketus anak-itu membuat patih kehabisan kesabaran. Diculiknya anak itu dan dibawanya lari.
Saat malam tiba Umar Maya, kedatangan menantunya. Isteri Jaka Slaka itu menangis tersedu-sedu. Sungguh terkejut Umar Maya melihatnya.
"Apa yang terjadi puteriku?" ,tanya Umar Maya cemas, "Kemarilah" lekas kau katakan".
"Putera hamba belum pulang ayah"Isak wanita itu".Tadi siang ia bermain di taman hingga senja ia tak kembali. Hamba mencari-carinya, namun tak jua bertemu".
"Astaga",seru Umar Maya. "Baiklah puteriku kautinggallah di sini, biar ayah yang mencarinya.
Malam itu juga Umar Maya berangkat mencari namun hingga berhari-hari lamanya tak jua ia bertemu. Akhirnya, Umar Maya memutuskan untuk menyamar sebagai manusia, ia pun mengubah dirinya menjadi seorang kakek, ia menamakan dirinya Kaki Jugil.
Berkelanalah Kaki Jugil di Mayapada. Berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, belum juga ia menemukan cucunya yang hilang.
Namun akhirnya Kaki Jugil berjumpa dengan seorang laki-laki tua dan seorang remaja. remaja itu diikat dan diseret-seret oleh laki-laki tua itu tak sampai hati Kaki Jugil melihatnya.
"Hai tuan", tegur Kaki Jugil, "Siapakah anak itu? Mengapa tuan menyeretnya seperti demi kian?"
"Dia adalah Jaka Pertaka", sahutlaki-laki itu. Aku membawanya karena ia memiliki boneka Gajah Putih berkepala empat.
Senang bercampur terkejut Kaki Jugil mendengar itu. Akhirnya ia berjumpa juga dengan cucunya yang kini sudah remaja. Maka berkatalah kaki Jugil, "Tuan, mohon lepaskan anak itu, nanti akan hamba tunjukkan di mana gajah yang tuan inginkan".
Patih menolak karena tak percaya, terjadilah perkelahian. Kaki Jugil menyerang dengan ganas, sang Patih melawan dengan gagahnya.
Pada akhirnya, kalahlah patih itu, ia lari meninggalkan Jaka Pertaka. Remaja itu sungguh berterima kasih. Telah bertahun-tahun lamanya ia berjalan di seret-seret patih.
"Ya orang tua yang gagah" , ujar Jaka Pertaka, "Tak terkira terima kasih hamba pada tuan".
Kaki Jugil berpikir sejenak. Ia tahu, pengembaraan Jaka Pertaka belum lagi usai. Karenanya Kaki Jugil belum dapat mengatakan siapa dirinya yang sesungguhnya. "Wahai tuan muda", ujar Kaki Jugil, "Janganlah tuan bersikap demikian takdir telah mempertemukan kita. Hamba adalah Kaki Jugil yang diutus untuk menyertai tuan dalam pengembaraan di mayapada".
"Sungguhkah?" Jaka Pertaka tercengang. "Jika demikian, tentu hamba masih harus meneruskan perjalanan".
"Demikianlah tuan", sahut Kaki Jugil, "Jika telah tiba saatnya, barulah tuan dapat kembali ke kahyangan".
Sejak itu, berkelanalah Jaka Pertaka bersama Kaki Jugil.
Syahdan di tepi sebuah desa lalulah empat pencari kayu. Salah seorang menemukan sebatang kayu yang amat bagus. Ia memungut kayu itu. "Hai kawan-kawan", seru pencari kayu itu, "Lihat, betapa bagusnya kayu ini. Tak sampai hati aku menjadikan kayu ini kayu bakar, bahkan menjadikannya perabot pun kayu ini masih terlalu mahal".
"Kau benar sobat", sahut kawannya, "Bagaimana kalau kayu indah itu dibuat patung saja?"
"Baik sekali pikiranmu, namun aku tak pandai memahat"
"Ha, serahkan kepadaku", tukas seorang kawannya yang lain. "Aku sangat gemar membuat patung".
"Benar-benar", sambut kawan-kawannya". Buatlah patung yang indah".
Segera pencari kayu itu bekerja, teramat sangat bersungguhnya. Sesaat patung itu telah selesai. Teramat sangat indahnya patung seorang
wanita yang teramat sangat cantiknya.
Terpesona para pencari kayu itu melihat kecantikan patung itu. Sayang, patung itu tak berwarna. Maka pencari kayu yang keempat menyanggupi untuk mewarnainya. Ia memang seorang ahli menggambar.
Dengan sangat tekun pencari kayu itu menggambari dan mewarnai patung itu. Sekejap saja selesailah. Luar biasa, patung itu seolah hidup. Sungguh kecantikan parasnya mempesonakan para pencari kayu itu. Kini, timbullah pertengkaran, masing-masing merasa berhak untuk memilikinya. Perkelahian nyaris terjadi, beruntung, Kaki Jugil datang.
"Hentikan anak-anak", cegah kaki jugil' "Hentikan. Mengapa kalian berkelahi?"
"Kakek", seru para penebang kayu itu," Kami mohon keadilan. Katakan olehmu, siapa yang berhak memiliki patung ini?"
"Jika demikian, hanya patung ini yang tahu", sahut Kaki Jugil, "Mari kita tanyakan kepadanya."
Kaki Jugil mengeluarkan tusuk kondai ajrang. Di dalam tusuk sanggul itu tersimpanlah Jaka Pertaka. Ia bersemayam di sana sampai pengembaraanya selesai. kaki Jugil memasang tusuk kondai itu pada patung, lalu ia membanting gambar Gajah Putih berkepala empat. Di dalam gambar itu bersemayamlah jaka Slaka. Segera tusuk konde Ajrang dipasang dan gambar gajah putih berkepala empat dibanting, hiduplah patung itu. Ia mulai menari dengan gemulainya.
"Hai puteri cantik", ujar Kaki Jugil kepada gadis yang menari itu, "Siapakah diantara keempat laki-laki ini yang berhak memilikimu?"
"Keempat empatnya wahai kakek", sahut gadis itu, "Sebab hamba adalah saudara mereka semua. Jadi tak seorang pun dapat menikmati hamba.
"Baiklah jika demikian", ujar Kaki Jugil, "Mulai sekarang, kalian semua ikutlah bersamaku. Kita berkelana, engkau menjadi penari, empat saudaramu menjadi panjak atau penabuh gamelan. Dan aku dalangnya".
Kini mufakatlah mereka semua.

Referensi : Dinas Kebudayaan dan Permuseuman, Cerita Rakyat Betawi, 2004
Sumber : Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta
Last Updated ( Tuesday, 06 October 2009 15:55 )

Juragan Kambing
Thursday, 01 October 2009 11:44

Jakarta.go.id - Pada zaman dahulu tersebutlah tujuh orang gadis. Mereka adalah puteri-puteri seorang hartawan besar. Namun kini ayah bunda mereka telah tiada.
Tanpa adanya ayah dan ibu, ketujuh gadis itu sungguh-sungguh tiada terurus. Kerja mereka setiap hari hanya bersenang-senang, berpesiar bersama pemuda-pemuda kaya. Hanya si bungsu yang bernama Siti Zainab Ying tak Pernah turut.
Setiap hari kerja Siti Zaenab bermain-main sendiri. Keenam kakaknya tak pernah peduli padanya. Maka keadaan Siti zainab sungguh mengibakan hati.
Sesungguhnya kakaknya yang keenam yang bernama Siti Zubaidah, ada juga kasihnya kepada adiknya. Namun ia tak berani terang-terangan. Sebab ia takut kepada kakak sulungnya yang bernama siti zulaikha. Si Sulung ini amatlah bengis dan bencinya kepada adik bungsunya.
Secara diam-diam Siti Zubaidah sesekali memberi uang kepada seorang janda. Uang itu upah memasak dan mencuci bagi Siti Zainab. Tak banyak uang yang dapat disisihkan Siti Zubaidah. Namun janda itu tetap saja melakukan pekerjaanya dengan baik.
Janda upahan Siti Zubaidah itu biasa dipanggii Bibi Kambing. Dipanggil demikian itu karena anak satu-satunya bekerja sebagai gembala kambing. Anak itu biasa dipanggil juragan kambing. Namun ia tak marah dengan olok-olok itu.
Karena kasihan melihat Siti Zainab tak terawat di rumah orang tuanya yang besar itu, maka Bibi Kambing mengambil anak itu untuk dirawat dirumahnya sendiri. RUmah peninggalan almarhum orang tua Siti Zainab memang besar dan megah. namun, dirumah itu tak ada pelayan atau siapapun yang merawat.
Di rumah Bibi Kambing yang sederhana Siti Zainab hidup lebih senang. Makan dan pakaiannya ada yang mengurus. Sesekali Siti Zubaidah datang menjenguk.
Siti Zainab juga kian akrab dengan warsa, anak Bibi kambing yang sering diolok-olok juragan kambing itu. Melihat keakraban mereka Bibi Kambing merasa khawatir. Tak layak laki-raki dan perempuan bergaul terlalu dekat.
"He Warsa", ujar Bibi Kambing pada suatu hari, "Kini kau sudah besar, tidakkah kau terpikir untuk mencari pekerjaan lain yang lebih baik? Lagi pula, emak khawatir melihatmu terlalu akrab dengan non Zainab. Tak baik laki-laki dan perempuan berdua-dua".
"Baiklah mak", sahut Warsa, "Hambapun sudah lama berpikir pikir untuk berniaga".
"Berniaga? " Bibi Kambing tercengang . "Apa kau punya modal?"
"Walau sedikit, ada juga modal hamba mak. Dari hasil menggembala, seekor anak kambing jantan telah menjadi hak hamba".
"Baguslah jika demikian lekas-lekaslah kau laksanakan niatmu setelah menjual anak kambingnya, pergilah Warsa merantau. Pemuda itu tak kenal pekerjaan lain selain mengurus kambing. Pelbagai pekerjaan dicobanya selalu gagal.
Pada suatu hari Warsa berjumpa seorang haji yang hendak menjual kambing. Pergilah pemuda itu mencari orang yang hendak membeli kambing. Kebetulan Warsa bertemu dengan seorang pemilik rumah makan, orang itu sedang membutuhkan kambing karena tukang jagal telah lama tak mengiriminya daging kambing.
Warsa pun membawa kambing milik haji itu dan menjualnya. Dari haji itu Warsa beroleh upah. Sejak saat itu Warsa mulai bekerja mencari orang-orang yang hendak menjual kambing, lalu ia menjualkannya.
Walau upah yang di dapat Warsa tak seberapa, namun ia terus bekerja erat dan hidup hemat. Lama-kelamaan ia beroleh modal yang cukup. Maka jadilah Warsa seorang saudagar kecil-kecilan.
Beberapa lama Warsa bekerja giat dan hidup hemat Kekayaannya kian banyak. Kini julukan Juragan Kambing bukan lagi olok-olok baginya. Ia telah menjadi seorang juragan kaya berkat berdagang kambing.
Dengan kekayaan yang telah didapatnya, Warsa memutuskan untuk pulang. Alangkah bahagianya Bibi Kambing, putera satu-satunya telah kembali Lebih dari itu, puteranya itu telah menjadi Juragan Kambing sungguhan.
Saat itu, Siti Zainab telah menginjak remaja, kecantikannya kian nyata. Kelima kakaknya kian membencinya. Hanya Siti Zubaidah yang tetap kasih padanya.
Mendengar Warsa telah kembali sebagai saudagar kaya, maka Siti Zulaikha dan keempat adiknya kerap berkunjung ke rumah Bibi Kambing. Dengan pelbagai lagak mereka berusaha memikat hati warsa. Itu memang baru Siti Zubaidah yang telah bersuami, kini ia dan suaminyalah yung merawat Siti Zainab. Sedang si sulung Siti Zulaikha dan empat adiknya belum juga menikah. Maklumlah banyak orang sudah tahu perilaku mereka yang buruk.
Setiap berkunjung ke rumah Bibi Kambing, kelima gadis itu selalu melihat-lihat dengan penuh minat. Rumah yang dulu kecil dan buruk itu memang kini menjadi besar dan megah. Pelbagai perabotan yang indah-indah menghiasi rumah itu. Sungguh tak tahan kelima gadis itu ingin memilikinya.
Walau Siti Zulaikha dan adik-adiknya cantik-cantik, Warsa tak pernah menghiraukan mereka. Diam-diam pemuda itu tertarik pada Siti Zainab.
Akhinya Warsa dan Siti Zainab menikah. Sungguh ramai pestanya. Pelbagai tontonan dipertunjukkan. Diam-diam siti zubaidah bersyukur, kini adiknya tak akan sengsara lagi.
Namun Siti Zulaikha dan keempat adiknya sangat gusar. Maka mereka pun sepakat untuk mencelakai adik bungsu mereka. Rencana keji pun disusun.
Sampailah pada harinya, "Adik-adik" ujar Siti Zulaikha, "Hari ini si Juragan Kambing itu telah berangkat berniaga ke negeri seberang.
Inilah saatnya kita melaksanakan rencana kita".
Berangkatlah kelima gadis kita ke rumah Warsa. Di sana sedang ada Siti Zubaida yang tengah berkunjung. Melihat kedatangan kelima kakaknya, Siti Zubaidah merasa curiga.
Kecurigaan siti Zubaidah makin bertambah melihat kelima kakaknya begitu manis, mereka membujuk-bujuk Siti Zaenab untuk pesiar berperahu. Siti Zubaidah ingin mencegah, namun ia takut kepada Siti Zulaikha.
Ketika akhirnya Siti zainab mengiyakan ajakan kakaknya untuk berpesiar, Siti Zubaidah kian was-was. Diam-diam ia memberikan sebuah kantong,kepada Siti Zainab. "Adik, bawalah kantong ini", Bisik siti zubaidah, "Didalamnya ada sedikit roti, sebentuk cincin permata dan sebelah sekin. Berhati-hatilah engkau".
Siti Zaenab hanya menyahut dengan anggukan. Ia cepat-cepat pergi karena kelima kakaknya terus menarik-narik. Hati perempuan
itu sesungguhnya juga cemas. Siti Zulaikha dan adik-adiknya membawa siti Zainab berkayuh di sungai. sambil berkayuh mereka terus bersenda gurau. Mereka terus berusaha menarik perhatian Siti Zainab.
"Hai adik-adik", seru Siti Zulaikha, "Lihat dermaga itu, ayo kita merapat ke sana.
"Benar kak", sahut adiknya yang lain "Tempatnya indah-indah sekali. Kita bisa membuka bekal dan makan di sana".
Perahu pun dikayuh ke tepi. Setelah merapat ke dermaga Siti Zulaikha turun lebih dahulu, ia menambatkan tali perahu. satu persatu adik-adiknya turun.
Saat Siti Zainab akan ikut turun tiba-tiba Siti Zulaikha melepas tali penambat perahu, lalu ditendangnya perahu itu. Olenglah perahu, nyaris Siti zainab terjatuh. Segera perahu itu terseret arus.
"Kakak, tolong aku kak". Pekik Siti Zainab, "Tolong aku".
Siti Zulaikha dan adik-adiknya malah tertawa. Sungguh senang hati mereka. Rencana busuk telah berhasil dilaksanakan. Siti Zainab pasti akan mati, pikir mereka.
Kini Siti Zulaikha mendatangi rumah Bibi Kambing. Di sana mereka berbuat seenaknya seolah di rumah sendiri. Bibi Kambing tak kuasa menghadapi mereka. Ia terpaksa menyingkir ke rumah Siti Zubaidah.
Betapa terkejut Siti Zubaidah mendengar penuturan Bibi Kambing. Lekas suami Siti Zubaidah, pergi mencari adik iparnya itu. Dengan sia-sia laki-laki itu berkeliling dan bertanya-tanya.
Sementara itu, Siti Zainab duduk di perahu yang diseret arus. Ia sungguh ketakutan. Berhari-hari lamanya ia hanya makan roti yang ada dalam kantong pemberian Siti Zubaidah. Roti yang tak banyak itu akhirnya habis. Gadis itu kini hanya minum air sungai.
Beruntunglah Siti Zainab, seorang tukang rakit menemukannya. Saat itu, perahunya hampir mencapai muara. Jika tidak diselamatkan oleh tukang rakit, niscaya perahu itu akan terseret ke laut lepas.
"Nona, apa yang terjadi dengan mu". Tanya tukang rakit. "Mengapa nona berada dalam perahu tanpa kayuh?"
"Aku dicelakai orang", sahut Siti Zainab", sekarang ini di manakah kita berada?"
"Kita berada dekat muara, tempat ini sangat berbahaya".
"Jika demikian, sudikah engkau antarkan aku ke pelabuhan?"
"Baik nona, pelabuhan memang tak jauh dari sini"
Setiba di pelabuhan tukang rakit menitipkan Siti Zainab pada Syah Bandar. Maka tinggallah Siti Zainab dirumah Syah Bandar. Dengan cincin permata bekal dari Siti Zubaidah, ia membayar ongkos makan dan menginapnya. Siti Zainab bertekad menunggu kedatangan suaminya di sini.
Bulan demi bulan berlalu dengan lambatnya. Kapal-kapal datang dan pergi ke pelabuhan itu. Siti Zainab hanya dapat duduk menunggu.
Pada suatu hari, seorang pembantu Syah Bandar datang tergopoh-gopoh. "Nyonya", seru orang itu, "Kapal yang ditumpangi Tuan Warsa tiba".
Secepat kilat Siti Zainab berlari ke pelabuhan. Tampak sebuah kapal besar di tengah lautan. Perempuan itu menanti dengan berdebar-debar. Namun ternyata kapal sebesar itu tak dapat merapat. Para penumpang diturunkan dengan sekoci.
Sungguh lambat para pengayuh mendayung sekoci. Siti Zainab nyaris tak mampu menahan sabar. Tampak di kejahuan Warsa melambai-lambai.
Akhirnya sekoci-sekoci itu merapat. Siti Zainab dan Warsa berjumpa. Dengan berlinang air mata perempuan itu menuturkan kemalangan yang dialaminya.
Bukan main gusar hati Warsa, "Baiklah adinda", ujar Warsa, "Perbuatan mereka tak dapat dibiarkan".
Segera Warsa mempersiapkan sebuah peti. Peti itu besar dan berukir teramat indahnya. Pada salah satu sisinya terdapat dua buah lubang. Kira-kira sekepalan tinju besar lubang itu.
Pulanglah Warsa ke rumahnya, ia menumPang bendi yang amat indah. Di belakangnya diikuti sebuah pedati yang mengangkut peti besar itu. Setiba di rumah ia disambut oleh Siti Zulaikha dan keempat adiknya.
Warsa hanya tersenyum-senyum saja melihat para penyambutnya. Ia sama sekali tak menanyakan isteri atau ibunya. Warsa juga tak bertanya-tanya saat melihat banyak perabot mahal di rumahnya telah hilang.
"Kanda Warsa", ucap Siti Zulaikha dengan manisnya "Setelah berniaga sekian lama, adakah kanda membawakan sesuatu untuk kami?".
"Tentu saja", sahut Warsa, "Di dalam peti itu hamba sediakan segalanya untuk kakanda sekalian".
Terbeliak mata kelima gadis itu melihat peti besar digotong ke sebuah ruangan. Peti sebesar itu tentulah memuat harta yang sangat banyak. Tak sabar hati Siti Zulaikha ingin membuka peti itu.
"Masuklah satu per satu", kata Warsa, "dan rogohlah isinya melalui lubang di peti itu."
Siti Zulaikha masuk lebih dahulu. Ia ingin mengambil bagian terbaik dari peti itu. Disisi peti ia berjongkok, tangannya dimasukkan ke dalam lubang.
Dan apa yang terjadi, teryata di dalam peti itu bersembunyi Siti Zainab. Begitu iya melihat tangan kakaknya, lekas menarik tangan itu melalui lubang satu lagi ia menikamkan sekin. Matilah Siti Zulaikha yang keji.
Dua orang pelayan lekas membawa mayat Siti Zulaikha ke belakang. Setelah itu datang adik Siti Zulaikha yang kedua. Ia pun mengalami nasib seperti kakaknya.
Berturut-turut adik-adik Siti Zulaikha yang ketiga hingga yang kelima mengalami nasib yang sama. Maka keluarlah Siti Zainab dari dalam peti.
Sejak saat itu, Siti Zainab suaminya Warsa Si Juragan Kambing hidup tenteram. Demikian pula Siti Zubaidah dan Bibi Kambing.

Referensi : Dinas Kebudayaan dan Permuseuman, Cerita Rakyat Betawi, 2004
Sumber : Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta
Genderuwo
Wednesday, 30 September 2009 13:34

Jakarta.go.id - Mansur adalah seorang pedagang keliling. Ia menjajakan dagangannya hingga ke Cirebon. Karena itu, sekali ia pergi, paling cepat ia baru akan kembali seminggu kemudian.
Suatu pagi Mansur baru akan berangkat, di jalan ia berjumpa sahabatnya, Otong dan Udin. "Mau jalan lu Sur?" tegur Udin.
"Iya, nanti malam giliran kita ronda yah?" ,ujar Mansur seraya menyodorkan sejumlah uang. "Ini buat beli bako".
"Wah jadi nggak enak nih", sahut Otong, namun tak urung uang itu dikantunginya juga.
Mansurpun meneruskan perjalanannya, sedang Otong dan Udin bergegas menuju kebun.
Malamnya Otong dan Udin bersama beberaPa orang lain meronda. Sepanjang malam mereka berjaga dan berkeliling. Menjelang dini hari mereka memutuskan untuk pulang.
Di perjalanan pulang Otong dan Udin melewati rumah Mansur. Tampak Mansur baru keluar dari halaman. Otong dan Udin heran, karena baru pergi kemarin mereka melihat Mansur berangkat mengapa dini hari ini ia sudah terlihat lagi?
"He Sur", tegur Otong, "Kenapa lu udah pulang lagi?"
Namun Mansur tak menghiraukan teguran itu, ia terus saja berlalu. Otong dan Udin menjadi gusar. "Sombong bener dia", ujar Udin, "Ditanya nengok aja kagak".
"Iya", sahut Udin, "Mentang-mentang kemaren udah ngasih duit kali".
Dini hari berikutnya Otong dan Udin hendak berangkat ke kota. Saat melewati rumah Mansur, keduanya kembali melihat pedagang itu keluar rumah. Kedua sahabat itu sudah lupa pada peristiwa dini hari yang lalu. Dengan ramah keduanva menegur Mansur.
Kali ini ternyata sama saja. Mansur terus saja berlalu. Teguran sahabatnya tak dihiraukan. otong dan udin kembali merasa gusar. "Kenapa sih dia?" tanya Otong. "Ditegur baek-baek kagak nyaut. Emangnya gua kirik".
Udin tak segera menyahut, ia merasa ada sesuatu yang ganjil.
"Tong", ujar Udin, "Tempo hari waktu dia ngasih duitkan biasa aja. Tapi besoknya ama sekarang dia berubah".
"Iya, karena udah ngasih duit makanya dia ngerasa berkuasa".
"Bukan itu maksud gua", tukas Udin, "Dia kan kalo pergi lama. Paling cepet seminggu baru pulang, kadang-kadang ampe sebulan".
"Iyayah" , ucap Otong heran," Kenapa dua hari ini dia bolak-balik terus?"
"Makanya gua jadi curiga", timpal Udin "Jangan-jangan dia bikin macem-macem".
Kecurignan itu membuat Otong dan Udin sepakat untuk mengintai Mansur. Malam itu keduanya bersembunyi di semak-semak, mata mereka mengawasi rumah Mansur dan jalan sekitarnya.
Lewat tengah malam otong dan Udin melihat Mansur di kejahuan. suasana terasa aneh. otong dan Udin merasa tercekam. Keduanya mendekam dengan tegang di tempat persembunyian.
Tampak Mansur memasuki halaman rumahnya. Pedagang itu mengetok pintu sesaat kemudian pintu terbuka, Mansur pun masuk. Otong dan Udin terus mengawasi.
"Din", bisik Otong, "Perasaan gua nggak enak".
"Sama gua juga", sahut Udin.
"Tapi, kenapa Si Mansur baru pulang tengah malam begini?"
"Makanya gua jadi makin curiga".
"Ayo kita intip ke dalem".
Otong dan Udin beranjak dari persembunyian. Keduanya mengendap-endap mendekati rumah Mansur. Namun setelah dekat keduanya mengurungkan niatnya. Lekas mereka menjauh dengan wajah merah padam, di dalam rumah sayup terdengar lenguhan isteri Mansur.
"Sialan", umpat Otong setelah jauh, "Gua kirain lagi ngapain".
"Dasar pejajaran tu orang", timpal Udin, "Pantes bolak-balik mulu".
Selagi Otong dan Udin mengumpat-ngumpat muncul para peronda. Kedua sahabat itu menceritakan pengalaman mereka. Para peronda tertawa terbahak-bahak.
"Udah-udah jangan ribut", ujar Komar, "Bentar lagi subuh."
Mereka semua terdiam. Saat itulah nampak Mansur keluar dari rumahnya. Otong dan Udin bersama para peronda terkiki-kikik. Tetapi seperti dua hari sebelumnya pedagang itu terus saja berlalu. Sedikitpun ia tak menghiraukan teman-temannya.
Komar si jago pencak silat merasa heran. Pengalamannya saat malang melintang sebagai jawara membuatnya peka. Ia tahu, ada yang ganjil pada diri Mansur.
Segera Komar mengejar Mansur. Namun pedagang itu berjalan cepat sekali. Komar pun berlari. Mansur berlari lebih cepat lagi. Melihat itu Otong dan Udin bersama peronda lainnya turut mengejar.
Setiba di pengkolan tersentaklah para pengejar. Mereka melihat Mansur melompat, begitu ringan lompatannya. Tubuh Mansur lenyap di kerimbunan daun pohon Johar.
Sadarlah semua orang, yang tengah mereka kejar bukanlah Mansur melainkan Genderuwo. Mahluk jahat itu biasa tinggal di pohon-pohon besar yang tua.
Jika Genderuwo tengah berhasrat, ia akan mendatangi perempuan yang tengah ditinggalkan suami. Akibatnya, perempuan itu akan hamil.
Hal itu terjadi pada isteri Mansur. Ia hamil. Saat lahir, bayinya amatlah mengerikan. Sekujur tubuhnya berbulu lebat, wajahnya pun menakutkan. Umur bayi itu hanya beberapa hari, ia lalu meninggal. Namun sesungguhnya bayi itu tidak meninggal, ia hanya mengikuti bapaknya.

Referensi : Dinas Kebudayaan dan Permuseuman, Cerita Rakyat Betawi, 2004
Sumber : Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta
Last Updated ( Tuesday, 06 October 2009 15:58 )
Darma Jaya Darma Larang
Wednesday, 30 September 2009 11:22

Jakarta.go.id - Tersebutlah seorang pertapa yang mempunyai dua orang putera. Keduanya laki-laki, yang tertua bernama Darma Jaya, yang bungsu bernama Darma Larang.
Darma Jaya amatlah tampan. Sedangkan Darma Larang sebaliknya. Wajahnya amat buruk, kulitnya sehitam arang, tubuhnya kecil namun perutnya buncit.
Disuatu pagi yang cerah, sang pertapa duduk dihadap oleh Darma Jaya. "Ayahanda", sembah Darma Jaya, " Mohon izinkalah hamba pergi ke Ibukota. Hamba ingin sekali mengabdi kepada baginda raja"
"Pergilah anakku", sahut sang pertapa, "Semoga pengabdianmu berkenan bagi baginda raja".
Darma Jaya pun menyembah dan undur dari penghadapan. Saat ia Keluar dan pertapaan, Darma Larang adiknya memanggil, "Kang mau kemana kang?".
"Adinda", sahut Darma Jaya, "Baik-baiklah dinda menjaga ayahanda. Sebab kakanda hendak pergi ke ibukota, mengabdi kepada baginda raja".
"Ibukota kang?"
"Benar dinda".
"Waah, pasti banyak cewek cantik di sana kang, aku ikut dong".
Darma Jaya merasa malu dengan perilaku adiknya itu, walau ia tahu, adiknya itu sesungguhnya berhati mulia. Tetapi ia rasa enggan membawanya. Maka berkatalah satria ini "Baiklah dinda. Kita berangkat esok hari. Kini puaskanlah hatimu bermain kelereng, sebab di ibukota nanti dilarang orang bermain kelereng". Sambil berkata demikian Darma Jaya melempar segenggam kelereng".
"Horeee asyiiik", seru Darma Larang seraya berlari mengejar kelerang-kelereng itu.
Kelerang-kelereng yang dilempar Darma Jaya melesat jauh, melampaui gunung-gunung melintasi sungai-sungai. Darma Larang terus berlari mengejar kelereng-kelereng itu.
Melihat Darma Larang makin menjauhi, diam-diam Darma Jaya menyelinap pergi. Ibukota menjadi tempat tujuan satria itu. Ingin sekali ia menjadi seorang senapati. Atau kalau mungkin, mengapa tidak menjadi raja saja?
Sementara itu,dipaseban istana,Baginda Raja tengah gundah. paduka baru saja melamar Dewi Sukmawati. Namun sang puteri mengajukan syarat pernikahan yang berat. Ia meminta dibuatkan taman dengan tujuh kolam pemandian. Taman itu harus siap dalam waktu semalam.
"Mohon ampun wahai paduka", sembah patih mengusik lamunan sang prabu. "seorang satria datang menghadap".
"Hmmm, siapa kau satria?" sabda baginda" Apa tujuanmu menghadap?"
"Ampun beribu ampun hamba mohon ke bawah telapak duli sah alam," sembah satria itu. Ada pun nama hamba adalah Darma Jaya. Adapun hajat hamba adalah ingin mengabdi ke bawah telapak duli paduka".
Baginda berpikir sejenak, lalu ia kembali bersabda, "Hai Darma Jaya, Jaya benar engkau hendak mengabdi kepadaku, sanggupkah engkau membuat sebuah taman dengan tujuh kolam pemandian. Dan tarian itu harus siap dalam waktu semalam".
Terperanjatlah Darma Jaya mendengar syarat,itu.Namun ia telah terlanjur berdatang sembah. "Wahai paduka sah alam", sembah satria itu, "Apa pun yang duli tuan titahkan, akan hamba laksanakan".
"Jika demikian, segeralah engkau menghadap Dewi Sukmawati' dan buatlah taman itu, sebagai persembahan untuk dirinya".
"Daulat wahai paduka yang mulia", sembah Darma Jaya.
Setelah undur dari penghadapan raja, Darma Jaya, segera menghadap Dewi Sukmawati. Disampaikannya segala sabda sang prabu. Sang dewi pun segera memerintahkan Darma Jaya untuk memulai pekerjaannya.
Kini bingunglah Darma Jaya. Bagaimana membuat sebuah taman hanya dalam waktu semalam. Tiba-tiba ia teringat akan adiknya, tersenyumlah Darma Jaya.
Duduklah Darma Jaya seraya memejamkan mata. Batinnya memanggil-manggil sang adinda, Darma Larang, nama itu disebut-sebutnya dengan penuh kerinduan.
Tiba-tiba, "Waah, akan meninggalkan aku ha ha ha". Sang adinda muncul dari balik asap putih. "Hayoo sekarang jangan lari lagi, aku kan kesepian sendiri".
"Tidak adinda, sahut Darma Jaya, "Kanda tak akan pergi, sudah kau temukan kelerengmu?"
"Wah, kang, kelereng itu terlalu jauh jatuhnya. He kang sudah mendapat cewek kota belum, he he he".
"Sudahlah", ujar Darma Jaya, "Sekarang kanda membutuhkan pertolonganmu".
"Tolong apa kang, lekas katakan".
"Dapatkah dinda membuat taman dengan tujuh buah kolam di dalamnya?"
"Itu sih kecil".
"Tetapi taman ifu harus siap esok pagi""
"Gampang".
Segera saja Darma Larang bekerja. Bagai kilat ia mencangkul dan menyiangi tanah. Sebelum fajar menyingsing, taman itu telah selesai. Sebuah taman yang teramat sangat indahnya.
"Sudah kang" , ujar Darma Larang, "Sekarang buat apa lagi?"
"Bagus sekali adinda", Puji Darma Jaya, "Kini kau sembunyilah dahulu".
"Ha, tidak", tolak Darma Larang, "Nanti akang kabur lagi".
"Tidak dinda", sahut Darma Jaya, "Kanda berjanji, tak akan meninggalkan lagi" .
"Baiklah jika demikian". Darma Larang segera bersembunyi di balik rerumpunan bunga.
Darma Jaya segera menjumpai Dewi Sukmawati. Ia memberitahukan sang Dewi, bahwa taman telah siap. Tentu saja dewi itu amat terkejut, ia tak mengira, jika syaratnya itu dapat dipenuhi.
Bersama puteri-puteri istana lainnya, pergilah Dewi Sukmawati ke taman itu. Sungguh takjub mereka. Baru pertama mereka melihat taman seganjil dan seindah itu.
Melihat kolam-kolam pemandian yang berair jernih, Dewi Sukmawati mengajak para puteri untuk mandi. Mereka bersuka ria dan bermain-main di dalam air.
Namun di balik semak-semak, Darma Larang mengawasi para puteri itu. Ia sungguh senang melihat wanita-wanita cantik itu. Darma Larang tak mampu menahan diri, ia ingin ikut bermain dengan para puteri itu.
Hua ha ha". Darma Larang melompat keluar, "Cewek-cewek, ha ha ha".Ia terjun ke kolam.
Menjeritlah para puteri itu melihat Darma Larang yang buruk rupa. Jeritan mereka terdengar oleh Darma Jaya. Cepat ia mementang busur,lalu ia menyeruak masuk ke pemandian.
Di tengah kolam Darma Jaya melihat sosok hitam. Lekas satria itu membidikkan panahnya. Sosok hitam itu mendongak. Ternyata ia Darma Larang. Terkejut Darma Jaya, namun anak panah telah terlepas dari busurnya.
Jerit memilukan terdengar. Darma Jaya tersentak. Tampak adiknya menggelepar. Lekas Darma Jaya menghampiri. Terlambat, panahnya telah menembus tubuh Darma Larang.
Dengan panik Darma Jaya merangkul Darma Larang. "Dinda, ampuni kanda". Tangis Darma Jaya.
Darma Larang membuka matanya, nafasnya tinggal satu-satu, "kakanda", bisik satria buruk rupa itu, "sudahlah, adinda tak akan mengganggumu lagi. Namun dinda akan menunggu kanda, agar kita dapat bersama-sama pergi ke nirwana". setelah berucap demikian, lenyaplah Darma Larang.
"Hai satria", tegur Dewi Sukmawati, "Sungguh gagahnya dirimu. Kau dapat menaklukkan makhluk seram itu hanya dengan sekali panah".
Pujian Dewi Sukmawati membuat Darma Jaya melupakan kematian adiknya. sang dewi pun terus memuji-muji kegagahan satria
itu. Darma Jaya tergetar.
Kini Darma Jaya sungguh-sungguh melupakan adiknya, juga tugas yang diembannya. Ia bersama Dewi sukmawati asyik berkasih-kasih di taman itu.
Sementara itu, nun jauh di sana sang prabu merasa gelisah. Darma Jaya yang diutusnya belum juga kembali. Baginda cemas akan terjadi sesuatu pada satria itu. Maka berangkatlah baginda hendak menyusul Darma Jaya.
Alangkah terkejutnya baginda, saat tiba di taman ia menjumpai Darma Jaya dan Dewi sukmawati tengah berkasih-kasihan. Sungguh murka sang prabu.
"Hai Darma Jaya", menggelegar suara sang prabu, "Sungguh laknat perbuatanmu itu". Darma Jaya merasa tak mungkin menghindar lagi, ia pun berkata, "Pikiranmu aku takut? Mari kita mengadu kejantanan".
Pertarungan sengit pun terjadi. sungguh dahsyat. Taman menjadi porak poranda terlanggar keduanya. Mereka sama-sama gagah, mereka
sama-sama sakti.
Satu tendangan keras membuat sang prabu terlontar jauh. Ia terguling-guling dan memuntahkan darah. Darma Jaya sungguh lawan yang tangguh.
Sekuat tenaga baginda bangkit. Ia memejamkan mata. Dari tangannya keluar senjata sakti. Segera ia mengarahkan senjata itu. Darma Jaya harus mati.
Melihat senjata itu, terkejutlah Darma Jaya. Satria itu tahu, senjata itu milik jelmaan Dewa, tak ada yang mampu menahannya. Lekas ia melompat menjauhi.
Sang prabu melontarkan senjatanya. Mendesing bunyi senjata itu. Tetapi Darma Jaya telah menjauhi, seharusnya senjata itu tak akan menjangkaunya.
Akan tetapi, saat itu di balik awan, Darma Larang telah menunggu. Ia tak sabar lagi untuk pergi bersama kakaknya ke nirwana. Maka saat senjata itu akan jatuh, Darma Larang mendorongnya hingga dapat mencapai Darma Jaya.
Berdentum keras saat senjata itu menghantam Darma Jaya. Tubuh satria itu terpelanting. Darah mengucur deras. Namun bibir satria itu tersenyum. Ia melihat adiknya bersama senjata itu.
Saat itu juga kakak beradik Darma Jaya dan Darma Larang terbang bersama menuju nirwana.

Referensi : Dinas Kebudayaan dan Permuseuman, Cerita Rakyat Betawi, 2004
Sumber : Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta

1 komentar:

  1. LuckyClub Casino Site Review & Bonus Codes
    Luckyclub Casino has over 500 casino games that include slots, video poker, roulette, luckyclub blackjack, keno, and video poker, and they have a long history of

    BalasHapus

free counters